Selasa, 26 November 2019

Asing dan semakin terasing.

Setiap orang berubah, siapapun itu.
Namun, aku selalu terjebak dalam sangkalan.

Bahkan pada rentang waktu satu abad, seseorang belum tentu mengenal luar dalam, pasti ada beberapa rahasia yang tidak seorang pun tahu selain ia dan Tuhannya, apalagi hanya satu tahun.

Dan keakraban yang terjalin selama waktu itu, membuatku berada dalam ilusi bahwa aku begitu mengenalnya, sehingga ketika masa depan datang dan hal-hal tidak sesuai yang pernah dibayangkan, aku berasumsi bahwa ia telah berubah.

Saat itu, kami begitu asing, namun, lambat laun mencoba saling mengenal hingga begitu dekat untuk berbagi keluhan, ia begitu agamis, berprilaku seperti bagaimana seharusnya seorang muslimah. Aku mengagumi bagaimana ia sanggup menjadi teladan bagi murid-muridnya, juga bagaimana ia mampu berperan sebagai sahabat juga.

Dan kini, entah ...,
Kami semakin jauh. Dunia yang kami bagi bersama telah berlalu. Semua yang tersisa hanyalah jarak dan kesibukan. Lalu pemikiran itu menyentak kesadaran. Saat itu, apakah hanya aku yang merasa dekat? Mengingat; sikapnya yang suam-suam kuku.

Pada akhirnya, aku meragukan banyak hal, 
Hei, Ri, apakah aku terlalu banyak berpikir?


Layakkah waktu disalahkan untuk perasaan itu?

Malam kering di penghujung Nopember.

Selasa, 26 Nopember 2019

Selasa, 12 Maret 2019

Jatuh

Dia merasa tertekan untuk banyak hal; pekerjaan, hubungan pertemanan, kegiatan yang terlalu padat, tugas menumpuk, juga hutang yang tak kunjung terbayar. Lalu, saat satu beban lagi bertambah; keluarga; kerapuhan mulai mengungkapkan diri.

Saat itu, ia berfikir, menjadi lebih itu baik, menjadi diandalkan memberi kepuasan tersendiri, menjadi yang unggul menyelesaikan banyak masalah. Nyatanya, ia tertimbun "baik" yang dulu ia pandang dengan penuh harapan dan suka cita.

Tak ada rehat untuk rasa lelah, tak ada ruang untuk keluhan, tak ada toleransi saat ia terjebak dalam kesalahan serta kekalahan. Semua "baik" menyerang balik.

Dan satu-satunya yang tersiksa, adalah dirinya sendiri.

"Selamat tinggal hidupku saat ini."

Sabtu, 16 Februari 2019

Tersesat



Menemukan apa yang kusukai saat itu membuat segalanya berubah begitu banyak, ada semacam ruang kosong tertinggal, aku harus pergi, namun perasaan sedih tanpa alasan menenggelamkanku dalam emosi lain yang lebih buruk.

Salah satu barang pentingku baru saja hilang, bersama beberapa file ber-deadline dan berprospek masa depan panjang. Tapi perasaan kehilangan jauh lebih kuat pada hal lain, kebahagiaan sesaat yang kutemukan dalam agenda serupa konser. Euforia.

Setelah sekian tahun berlalu, satu, dua, bahkan sedikit pun tak menjawab pertanyaan yang hampir terlupakan, kala itu, usia masih dibatas awal.

Ada apa? Dimana sebenarnya kebahagiaan milikku berada?
Apakah hanya sebatas keramaian? Atau ada hal penting lain?

Aku tak mengerti, bisakah seseorang menjelaskan sesuatu serupa hal ini?
Aku merasa terjebak di sebuah labirin dalam fikiranku sendiri, bagaimana cara menemukan jalan keluarnya?
.
.
.
Dibatas hari, aku tersesat dalam kompleksitas; antara euforia, juga perasaan sedih.
Semoga apapun yang hilang dapat kutemukan kembali.

Kamis, 07 Februari 2019

Bayang: Berkilau seperti emas, tajam serupa beling

Waktu berlalu sekencang angin berhembus, mengikis keramaian di antara gelap malam. Aku menghembuskan nafas, beban berat datang seperti aku tak pernah mengalaminya selama ini.

Perasaan kuat menghantam, mengusik tenang yang telah terukir berabad yang lalu. Terdiam, beberapa lama hanya sepi yang menjawab kejanggalan dalam rasa. Ketika titik semakin jelas, aku bahkan tak dapat berteriak tuk tunjukkan rasa takjub.

Tak ada yang pernah berada pasa posisi "pasti benar," jika Tuhan memanggil Ayah lebih awal dari pada "beliau," maka emosi akan menjadi rumit, mereka, para pengincar akan senang atas "kelemahannya." Namun, jika "Beliau" pergi lebih awal, maka aku yakin perasaan ini lebih kuat daripada kesedihan.

Kini saat kegundahan terbagi, justru kalimat lain membuatku geram. Hei, yang kumaksud adalah semua akan menjadi lebih buruk, kau tahu?!

Kamis, 06 Desember 2018

Bayang-Prolog


Prolog

Begitu banyak orang yang menganggap rumah sebagai tempatnya pulang. Tempat dimana kehangatan dan kebahagiaan itu ada juga selalu menunggu. Selalu bangga mengatakan rumahku surgaku.

Nyatanya, aku bukan termasuk di dalam golongan orang-orang itu.

Dan sadar bahwa hanya ada kemustahilan dan angan bagiku akan keluarga sehangat film tv.

Entah sedari kapan aku merasakan ketegangan berlebih pada keadaan dimana Ayah, Ibu dan Kakak laki-lakiku berada di tempat yang sama. Batinku berteriak ‘jangan’, tangan gatal ingin menutup telinga rapat-rapat, kaki tidak tahan untuk segera pergi, seluruh anggota tubuh menolak untuk tinggal, terlalu takut jika seluruh kecemasan yang menghantui terjadi, hingga tanpa sadar menghela nafas panjang yang telah aku tahan sedari lama, saat salah satu dari mereka pergi.

Bukan, bukan berkumpul dengan keluarga yang aku benci, namun, interaksi yang terjadi ketika kami bersama. Kalimat yang diucapkan tidak pernah mengandung amarah, tapi lebih dari itu, sebuah sindiran. Nada dalam berbicara yang semakin naik seoktaf demi seoktaf. Lalu akan diakhiri candaan yang dijawab dengan ketus. Aku tidak tau mana yang lebih buruk, memiliki tapi sebatas angan, ataukah berwujud tapi tak pernah memiliki, ah, bagiku sama saja.

Bagi banyak orang, berkumpul sekeluarga adalah kesempatan satu kali seumur hidup, harus selalu dipertahankan, harus selalu diusahakan. Bagiku moment seperti itu adalah akhir segalanya, keadaan yang perlahan-lahan membunuh. Ancaman serius yang membuatku mengeluarkan tameng baja. Moment langka yang kuharap semakin langka, meskipun keinginan terbesarku adalah berkumpul bersama, utuh sekeluarga tanpa ada ketegangan samar yang menyelimuti, bercengkrama seperti seluruh gambar kebahagiaan yang terlihat di TV. Ya, sebahagia itu.

Tidak pernah ada yang sanggup berkata baik-baik saja ketika yang terjadi sebaliknya. Bahkan ketika semakin sadar ada sesuatu yang hilang. Ada sebuah gertakan tak kasat mata. Ada kekhawatiran juga kecemasan yang tak begitu jelas menakuti benakku.

Aku tak dapat pergi, seakan ada bom meledak sedikit saja wajah berpaling.

Aku tak mungkin beranjak, ketika harapan terbesarku akan kehangatan keluarga muncul setitik diantara suasana tegang yang selalu hadir saat kami mewujudkan keberadaan dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Jujur, aku takut, sangat takut segala mimpi buruk yang dimiliki semua orang akan keluarga terjadi padaku. Bagiku sekarang ini, lebih baik saling memarahi lalu terpisah daripada bersitegang dalam diam.

Ketakutan itu juga muncul saat ibuku atau ayahku berkata yang lebih bermaksud sebagai candaan, tapi, kakak-kakakku menimpali sangat serius dengan sedikit kemarahan yang muncul ataupun sebaliknya, dan rasa itu mencengkramku erat.

Segala kepesimistisanku itu berpengaruh besar. Kerinduanku saat jauh dari rumah luntur seketika, segala indah yang melekat pada rumah luruh tak bersisa, segalanya pudar lalu menghilang.

Bagiku rumah adalah tempat dimana gelisah menggerogoti. Keluarga yang mereka katakan bahwa mereka merupakan keberuntungan bagiku hanyalah pencitraan, dimana momok menakutkan itu menghadang.

Aku benci saat dimana mereka memuji kesempurnaan hidupku dan tak dapat mengelak apa yang tidak mereka ketahui.

Bagiku rumah dan baik tidak dapat berdamai dan aku terlalu lemah untuknya.

Entah sampai kapan, tapi aku berharap selalu baik-baik saja sampai saat itu datang.

Bayang



Perempuan, usia akhir remaja, sedikit pendiam yang ramah,  semua orang mengenalnya sebagai si malaikat, ada saat kau membutuhkan, sanggup saat kau minta bantuan, sempurna sebagai seorang panutan.

Dia tak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Menjalani aktivitas monoton dengan kehidupan monoton, hidupnya sempurna dengan semua kebaikan yang selalu orang-orang sematkan padanya, juga segala keramah-tamahan yang ditunjukkan orang lain padanya, terutama saat mereka membutuhkan uluran tangan. Benar-benar mencerminkan peribahasa teman dalam suka.

Ah, hebat bukan!

Hidupnya sesempurna putri dalam dongeng, sayang, tidak ada yang tahu bahwa dibalik pribadi yang pendiam, ia menyimpan otak dengan isi menakjubkan, penuh dengan hal-hal gila yang tak pernah kau bayangkan, tak tertebak dan menantang adrenalin.

Selamat tertipu dengan apa yang ia perihatkan, selamat menjalani kepalsuan yang ia cipta.

Selamat datang di dunia bayang.


 
HeavyArt Blogger Template by Ipietoon Blogger Template