Kamis, 06 Desember 2018

Bayang-Prolog


Prolog

Begitu banyak orang yang menganggap rumah sebagai tempatnya pulang. Tempat dimana kehangatan dan kebahagiaan itu ada juga selalu menunggu. Selalu bangga mengatakan rumahku surgaku.

Nyatanya, aku bukan termasuk di dalam golongan orang-orang itu.

Dan sadar bahwa hanya ada kemustahilan dan angan bagiku akan keluarga sehangat film tv.

Entah sedari kapan aku merasakan ketegangan berlebih pada keadaan dimana Ayah, Ibu dan Kakak laki-lakiku berada di tempat yang sama. Batinku berteriak ‘jangan’, tangan gatal ingin menutup telinga rapat-rapat, kaki tidak tahan untuk segera pergi, seluruh anggota tubuh menolak untuk tinggal, terlalu takut jika seluruh kecemasan yang menghantui terjadi, hingga tanpa sadar menghela nafas panjang yang telah aku tahan sedari lama, saat salah satu dari mereka pergi.

Bukan, bukan berkumpul dengan keluarga yang aku benci, namun, interaksi yang terjadi ketika kami bersama. Kalimat yang diucapkan tidak pernah mengandung amarah, tapi lebih dari itu, sebuah sindiran. Nada dalam berbicara yang semakin naik seoktaf demi seoktaf. Lalu akan diakhiri candaan yang dijawab dengan ketus. Aku tidak tau mana yang lebih buruk, memiliki tapi sebatas angan, ataukah berwujud tapi tak pernah memiliki, ah, bagiku sama saja.

Bagi banyak orang, berkumpul sekeluarga adalah kesempatan satu kali seumur hidup, harus selalu dipertahankan, harus selalu diusahakan. Bagiku moment seperti itu adalah akhir segalanya, keadaan yang perlahan-lahan membunuh. Ancaman serius yang membuatku mengeluarkan tameng baja. Moment langka yang kuharap semakin langka, meskipun keinginan terbesarku adalah berkumpul bersama, utuh sekeluarga tanpa ada ketegangan samar yang menyelimuti, bercengkrama seperti seluruh gambar kebahagiaan yang terlihat di TV. Ya, sebahagia itu.

Tidak pernah ada yang sanggup berkata baik-baik saja ketika yang terjadi sebaliknya. Bahkan ketika semakin sadar ada sesuatu yang hilang. Ada sebuah gertakan tak kasat mata. Ada kekhawatiran juga kecemasan yang tak begitu jelas menakuti benakku.

Aku tak dapat pergi, seakan ada bom meledak sedikit saja wajah berpaling.

Aku tak mungkin beranjak, ketika harapan terbesarku akan kehangatan keluarga muncul setitik diantara suasana tegang yang selalu hadir saat kami mewujudkan keberadaan dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Jujur, aku takut, sangat takut segala mimpi buruk yang dimiliki semua orang akan keluarga terjadi padaku. Bagiku sekarang ini, lebih baik saling memarahi lalu terpisah daripada bersitegang dalam diam.

Ketakutan itu juga muncul saat ibuku atau ayahku berkata yang lebih bermaksud sebagai candaan, tapi, kakak-kakakku menimpali sangat serius dengan sedikit kemarahan yang muncul ataupun sebaliknya, dan rasa itu mencengkramku erat.

Segala kepesimistisanku itu berpengaruh besar. Kerinduanku saat jauh dari rumah luntur seketika, segala indah yang melekat pada rumah luruh tak bersisa, segalanya pudar lalu menghilang.

Bagiku rumah adalah tempat dimana gelisah menggerogoti. Keluarga yang mereka katakan bahwa mereka merupakan keberuntungan bagiku hanyalah pencitraan, dimana momok menakutkan itu menghadang.

Aku benci saat dimana mereka memuji kesempurnaan hidupku dan tak dapat mengelak apa yang tidak mereka ketahui.

Bagiku rumah dan baik tidak dapat berdamai dan aku terlalu lemah untuknya.

Entah sampai kapan, tapi aku berharap selalu baik-baik saja sampai saat itu datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
HeavyArt Blogger Template by Ipietoon Blogger Template